Iklan VIP

Redaksi
Senin, 06 Maret 2023, 09:09 WIB
Last Updated 2023-03-06T02:10:54Z
AgamaIslami

Agama Akhlak VS Agama Kekuasaan

foto : istimewa (by google)


Oleh : Denny JA 

- Kembali ke Esensi Agama: Kembali ke Tasawuf?

“Agamaku adalah cinta. Setiap hati manusia menjadi rumah ibadahku.”

Membaca kembali penggalan puisi Rumi ini, saya teringat berita di New Yorker, 2017. (1)

Diceritakan di berita itu kisah personel terkenal Cold Play. Namanya Chris Martin. 

Ia tengah bersedih hati, depresi, mengalami krisis eksistensial. Salah satunya karena pencarian meaning of life dan perceraian dengan istri yang dicintainya, artis Gwyneth Paltrow.

Ujar Chris Martin, deritaku disembuhkan oleh buku spiritual. Seorang teman memberiku sebuah buku. Ternyata itu buku puisi Jalaluddin Rumi.

Betapa banyak kearifan hidup yang aku dapatkan dari buku Rumi itu. Derita yang aku  alami saat itu juga bisa aku lihat dari perspektif yang berbeda, kata Chris Martin.

Banyak ucapan Rumi yang menyentuh: “Sambutlah derita yang datang padamu sebagai tamu kehormatan. Sangat mungkin derita itu datang membawa pesan Tuhan, untuk pencerahanmu. Kesadaran yang lebih tinggi justru datang melalui lukamu.”

Jalaluddin Rumi memang sangat populer di era modern di Amerika Serikat.  Menurut BBC, Rumi bahkan lebih populer dibanding penyair terkenal Amerika Serikat sekalipun, seperti Walt Whitman, Robert Frost, Emily  Dickinson. Itu terlihat dari jumlah bukunya yang dibeli setiap tahun.

Puisi Rumi tak hanya dibacakan di mesjid, tapi juga di gereja, sinagog dan universitas.

Yang membaca puisi Rumi bukan hanya mahasiswa sastra atau akademisi, tapi juga aneka artis holywood.

Rumi terasa membawa pesan  soal cinta dan kebajikan universal. Itu pesan spiritual, inspirasi akhlak yang melampaui sekat agama, negara, etnis dan kelas ekonomi.

Tapi apakah pesan Rumi yang sampai ke dunia barat itu pesan asli Rumi? Apakah yang beredar luas di masyarakat barat itu adalah seperti buku aslinya Masnavi, dalam bahasa persia itu?

Di sinilah sisi menarik soal terjemahan puisi Rumi di dunia barat. Banyak sekali karya Rumi dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh Coleman Bark. 

Ia seorang penyair dan ahli sastra Inggris. Coleman menghabiskan waktu 30 tahun menekuni karya Rumi.

Kritik paling keras datang dari Omid Safi. Omid you juga berasal dari kultur Persia, sama seperti Rumi. Lalu ia mengajar di Amerika Serikat, di Duke University.

Safi meradang keras sekali. Katanya, pesan dan puisi Rumi yang beredar di dunia barat tidak sama dengan puisi asli Rumi. Yang beredar di barat itu tafsir bebas atas puisi Rumi. Tafsir itu menghilangkan akar formalitas  agama Islam, sebagai agama Rumi.

Sang penerjemah Rumi, Coleman Barks, ujar Safi bahkan tak bisa membaca bahasa Persia. Ia hanya menerjahkan Rumi dari terjemahan bahasa Inggris lainnya.

Dan Coleman Barks melakukan universalisasi pesan dan liberalisasi puisi Rumi. Ini Rumi yang ditampilkan sesuai dengan kultur barat. 

Ini bukan terjemahan Rumi, tapi lebih tepatnya ini sudah tafsir universal bahkan tafsir liberal atas pesan Rumi.

Tapi betapapun keras kritik Omid Safi, justru tafsir universal inilah yang dirasakan sesuai dengan mindset zaman ini. Bukan puisi aslinya, namun terjemahan  bebas karya Rumi itu yang menjadi obat spiritual banyak orang di dunia.

Tak hanya teks puisi Rumi yang bisa berbeda jika ditafsir secara berbeda. Kitab suci pun tampil secara berbeda jika juga ditafsir berbeda.

Pada titik ini kita membicarakan buku Nursamad Kamba: Mencintai Allah Secara Merdeka (2020). Hari ini kita syukuran 1000 hari wafatnya sang sahabat. Saya memanggilnya Kak Nur.

Kak Nur juga berhasil ikut membangun komunitas tasawuf Maiya. Pikiran dan buku karangannya menjadi pedoman komunitas ini dan lainnya.

Dalam buku itu, Kak Nur banyak menguraikan pentingnya mengembalikan tafsir Islam sebagai agama akhlak. Dijelaskan pula sejarah pertarungan tafsir di era awal Islam dalam buku itu. Termasuk suasana sebelum kelahiran Islam.

Nabi Muhammad menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Komunitasnya meyakini Nabi menerima wahyu pertama ketika Nabi Muhummad berusia 40 tahun.

Itu berarti selama 15 tahun, Muhammad hidup dengan khadijah sebelum ia diyakini mendapatkan wahyu.

Kala itu di masyarakat Mekah dan sekitarnya sudah tumbuh komunitas agama yang hanif. Muhammad sebelum menjadi Nabi berada dalam pergaulan  komunitas ini.

 Empat orang yang disebut Ibnu Hisyam berada dalam agama yang hanif. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Zaid bin Amr bin Nufail, Ubaidullah bin Jahsy, dan Utsman bin al-Huwairits.

Pada awalnya Islam itu agama akhlak. Buku karangan Nursamad ini bertaburan ayat Quran dan Hadis yang menegaskan itu.

Antara lain: Hadis HR AR-Bukhori, tentang tugas Nabi Muhammad: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan ahlak yang mulia, budi pekerti yang luhur.”

Juga Quran, Surah Al-Anbiya 107:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta Alam.

Pun di Quran, Surah Al Baqarah 148:

“Bagi tiap tiap umat ada Kiblatnya sendiri, yang ia menghadap kepadanya. Dan berlomba-lombalah dalam membuat kebajikan.

Dalam buku ini ditegaskan, tasawuf bukan hanya salah satu cabang saja dalam ajaran Islam. Tasawuf itu sendiri sebuah jalan, sebuah pandangan hidup yang holistik. 

Tasawuf itu jalan hidup yang terus menerus menyucikan jiwa, membersihkan hati, menyerukan kebaikan, dan mengalami kebersamaan dengan Allah.

Tasawuf tak hanya untuk mereka yang secara formal beragama Islam. Tapi ini sikap hidup yang dapat dipeluk oleh siapapun. Apapun agama.

Nursamad Kamba tak hanya menggali isi Quran. Ia sendiri memang Ph.D dari universitas di Kairo. Ia juga hafal Al-Quran. Ia pun menelusuri proses kelahiran agama Islam.

Dimulailah era kenabian Muhammad. Pengikut awal Muhammad adalah mereka yang berorientasi penyempurnaan akhlak. Telah datang agama yang memang ingin menyempurnakan Ahlak.

Tapi terjadilah perang Badr. Kaum Quraish sangat bersemangat menumpas Nabi Muhammad dan pengikutnya. Perang sebenarnya tak berimbang. Quraish sangatlah kuat.

Namun perang Badr justru dimenangkan oleh Nabi Muhammad. Perang Badr menjadi penting dalam tonggak perkembangan Islam selanjutnya.

Atas kemenangannya, Nabi Muhammad menjadi daya tarik baru. Berbondong bondong masyarakat pindah memeluk Islam. Islam dianggap potensial menjadi pusat kekuasaan baru.

Namun motif bergabung dengan Islam pasca perang Badr berbeda. Mereka lebih banyak bergabung dengan orientasi kekuasaan. (Halaman 41).

Maka dimulaiah perbedaan motif dan prilaku dalam beragama Islam. Ada yang motif dan prilakunya menjadikan agama Islam sebagai Agama yang menyempurnakan Ahlak. Agama budi pekerti. Agama Cinta.

Ada pula yang prilakunya menjadikan Agama Islam sebagai jalan hidup menuju kekuasaan. 

Tafsir Agama Ahlak versus Tafsir Agama Kekuasaan terus berlanjut hingga kini. Perbedaan tafsir ini tak hanya terjadi pada agama Islam. Namun ini juga terjadi pada semua agama lain.

Seruan agar tafsir Islam kembali pada khittahnya sebagai jalan tasawuf, jalan cinta, sangat relevan saat ini. Apalagi di era politisasi agama begitu kuat. 

Agama Islam dijadikan instrumen bukan untuk moralitas agama yang tinggi. Tapi agama sekedar instrumen perebutan atau kehendak untuk berkuasa di sebuah negara.

Seruan itu lebih kuat lagi tafsir karena memiliki akar yang panjang.

Tersebutlah Ibn Qayim yang hidup di abad 14. Ia murid menonjol dari Ibn Taimiyah. Menurutnya, akar dari Islam adalah Cinta. Quran disebutnya buku dari Tuhan sebagai ajaran untuk mencintai. 

Semua agama Tuhan menurutnya bersandar pada satu kesamaan: Cinta. Ada 124 ribu Nabi di seluruh dunia. Semua membawa pesan yang sama: Cinta.

Sham i Tabrizi, yang disebut guru Jalaluddin Rumi, hidup di abad 13, menyatakan hal sama. Ia menyebut wahyu itu semacam surat Tuhan soal Cinta. Jika para ulama lain, ahli hukum, teolog tak melihat agama wahyu itu sebagai ajaran cinta, itu karena mereka bias dengan pra kondisi pengetahuannya sendiri. 

Menyambut 1000 hari wafatnya sahabat kita Nursamad Kamba, kita dengarkan kembali  yang menjadi inti pesannya. Bersama kita memperkuat agama  akhlak, agama cinta. 

CATATAN

1. Selebrity disembuhkan oleh buku spiritual Jalaluddin Rumi dan kritik atas terjemahan karya Rumi

https://www.newyorker.com/books/page-turner/the-erasure-of-islam-from-the-poetry-of-rumi

(Transkipsi dari pidato lisan membuka diskusi soal Tasawuf dalam acara 1000 hari wafatnya Guru Komunitas Maiya, Nursamad Kamba)

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, dan Penulis Buku.

Publisher : Joko Santoso