“Membongkar Celah Penegakan Hukum yang Bisa Dinegosiasikan”
Pasuruan,Clickindonesiainfo.id - Pemusnahan barang kena cukai ilegal senilai Rp11,3 miliar oleh Bea Cukai Pasuruan seharusnya menjadi momen penting untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menindak kejahatan ekonomi.
Namun yang terjadi justru sebaliknya: publik justru dibuat bingung karena tidak ada satu pun tersangka yang disebut, dan barang bukti yang dimusnahkan ternyata bukan berasal dari proses pidana.
Melalui klarifikasi tertulis yang diterima redaksi Click Indonesia Info, pihak Bea Cukai menyebut bahwa barang yang dimusnahkan pada 7 Mei 2025 merupakan hasil penindakan yang diselesaikan dengan mekanisme ultimum remidium—yakni pendekatan hukum yang lebih mengedepankan denda administratif ketimbang proses pidana.
Masalahnya, pendekatan ini digunakan dalam kasus pelanggaran berat yang nilainya mencapai miliaran rupiah, dan dilakukan tanpa penjelasan mendalam kepada publik.
Pertanyaannya: apakah ultimum remidium ini benar-benar untuk mengefisienkan penegakan hukum, atau justru telah menjelma menjadi bisnis penyelesaian pelanggaran yang nyaman untuk pelaku dan merugikan negara secara diam-diam?
“Jika pelanggaran dengan nilai miliaran rupiah cukup ditebus dengan denda, maka kita sedang membuka pasar kompromi hukum. Negara kehilangan efek jera, dan pelaku hanya anggap ini sebagai ongkos risiko bisnis,” kata seorang Pengamat Kebijakan yang enggan disebutkan namanya.
Kritik makin tajam karena tidak ada kejelasan anggaran dalam kegiatan pemusnahan. Pertanyaan tentang biaya transportasi, pengamanan, hingga audit pemusnahan tidak dijawab sama sekali.
Transparansi yang menjadi semangat reformasi birokrasi seolah hilang di tengah tumpukan barang ilegal yang dibakar tanpa arah.
Kita tidak sedang menyaksikan penegakan hukum yang tegas, tetapi sekadar seremoni pemusnahan yang minim pesan hukum. Jika pola seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin lembaga sekelas Bea Cukai pun akan kehilangan legitimasi moralnya di mata publik.
Ultimum remidium memang sah secara hukum, tapi jika dipakai secara sembarangan dan tanpa transparansi, ia bisa berubah menjadi Jubah Legal untuk menyelamatkan pelaku ekonomi ilegal dari jerat pidana.
Lebih parah lagi, ini bisa menjadi
“bisnis hitam” yang tidak kasat mata, tapi legal secara administrasi.
Kita mendorong lembaga legislatif, pengawas internal, hingga Ombudsman turun tangan. Karena kalau hukum sudah bisa dinegosiasikan, maka apa yang tersisa dari keadilan?
Penulis: Saiful Anwar
Publisher: jack