Iklan VIP

Redaksi
Kamis, 12 Juni 2025, 08:44 WIB
Last Updated 2025-06-12T01:51:08Z

Ketika Izin Jadi Misteri", GMBI: Bubarkan Saja DPMPTSP Pasuruan Kalau Tak Berguna.


PasuruanClickindonesiainfo.id
Di tengah gencarnya kampanye digitalisasi dan kemudahan layanan publik, transparansi perizinan usaha di Kabupaten Pasuruan justru menunjukkan gejala sebaliknya. Sejumlah warga dan aktivis mempertanyakan komitmen Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Pasuruan yang dinilai enggan membuka data perizinan usaha yang beroperasi di wilayah mereka.
‎Hal ini terungkap dari salah satu tanggapan resmi DPMPTSP terhadap permohonan informasi publik mengenai legalitas operasional sebuah kegiatan usaha di wilayah pedesaan. Alih-alih memberikan jawaban yang transparan, lembaga tersebut justru melempar kewenangan ke berbagai instansi lain, dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kementerian ESDM, hingga sistem OSS milik pemerintah pusat.
‎Ironisnya, DPMPTSP berdalih bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap data perizinan karena sistem OSS yang dikelola secara terpusat. Padahal, sistem OSS (Online Single Submission) yang mereka sebut justru dirancang untuk mendukung integrasi antar-lembaga, termasuk pemerintah daerah. Jika memang demikian adanya, pertanyaan mendasarnya: untuk apa keberadaan DPMPTSP jika sekadar jadi tukang kirim tamu?
‎Tak berhenti di situ, ketika ditanya soal kesesuaian tata ruang, DPMPTSP kembali melempar bola panas ke Mal Pelayanan Publik, meminta warga datang langsung hanya untuk mengecek apakah sebuah kegiatan usaha berada di zona yang diperbolehkan. Sikap ini dinilai sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab dan pengaburan akses atas informasi publik yang seharusnya terbuka.
‎“Ini seperti labirin birokrasi yang dibuat untuk membuat masyarakat lelah dan akhirnya menyerah. Transparansi tidak bisa dibangun dengan jawaban formalitas dan saling lempar tanggung jawab,” ujar seorang aktivis hukum lingkungan yang enggan disebut namanya.
‎Padahal, keterbukaan informasi publik merupakan mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Sikap menutup-nutupi atau mempersulit akses atas informasi perizinan—apalagi untuk usaha yang bersinggungan langsung dengan tata ruang, lingkungan, dan penggunaan lahan desa—bisa menjadi indikator lemahnya pengawasan dan potensi pembiaran terhadap praktik ilegal.
‎Dalam kondisi seperti ini, kekhawatiran masyarakat bahwa banyak usaha di pedesaan berjalan tanpa izin dan pengawasan yang memadai menjadi masuk akal. Bila dinas terkait saja tidak mampu atau tidak mau menjelaskan status legalitas suatu usaha, lantas siapa yang menjamin bahwa pembangunan dan investasi di daerah tidak merugikan masyarakat atau mencederai tata ruang?
‎Ketua LSM GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia), Ashari, S.H., ikut bersuara keras menanggapi hal ini.
‎“DPMPTSP ini seperti dinas dekoratif saja—ada bangunannya, ada pejabatnya, tapi fungsinya nihil. Kalau semua dilempar ke provinsi dan pusat, buat apa ada DPMPTSP di daerah? Ini bukan sekadar lalai, tapi pembiaran sistematis terhadap usaha ilegal yang beroperasi tanpa pengawasan,” tegas Ashari kepada Click Indonesia.
‎“Kami menduga kuat ada praktik pembiaran terstruktur. Warga datang minta kejelasan soal izin usaha, malah dilempar ke sana-sini. Ini bukan pelayanan, tapi sabotase terhadap hak publik atas informasi,” tambahnya.
‎Ashari juga meminta agar DPMPTSP tidak hanya dipermak sebagai simbol birokrasi, tapi benar-benar menjalankan mandat pelayanan dan pengawasan secara terbuka dan bertanggung jawab.
‎“Kalau DPMPTSP tidak bisa menunjukkan fungsinya, lebih baik dibubarkan saja. Anggaran mereka lebih baik dialihkan untuk pengawasan langsung oleh warga,” pungkasnya.
‎Pertanyaan ini patut dijawab oleh mereka yang diberi wewenang untuk melayani—bukan sekadar membungkam.(Jack)