Oleh Redaksi: Click Indonesia Info
Di banyak desa di Jawa, ada satu praktik yang berjalan begitu lama hingga tak lagi tampak sebagai penyimpangan: tanah kas desa, atau yang lazim disebut tanah bengkok, dikuasai oleh kepala desa dan perangkatnya seolah-olah itu milik jabatan. Disewakan tanpa musyawarah, digarap tanpa laporan, bahkan sering digunakan untuk kepentingan pribadi. Semua seakan wajar, karena “memang dari dulu begitu”.
Tapi sejak kapan budaya bisa menggantikan hukum?
Tanah Bengkok Bukan Hak Pribadi
Secara historis, tanah bengkok adalah bentuk kompensasi bagi petinggi desa yang di masa lalu tidak menerima gaji tunai. Mereka diberi hak mengelola sebidang tanah selama menjabat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sejak diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, seluruh perangkat desa sudah digaji secara resmi dari APBDes. Maka fungsi kompensasi melalui tanah bengkok otomatis gugur.
Sayangnya, di banyak desa, pemahaman ini tidak pernah dijelaskan ke masyarakat. Sebaliknya, justru dikuatkan oleh tradisi lokal yang menganggap TKD sebagai “jatah jabatan”. Akibatnya, tanah desa yang seharusnya menjadi aset kolektif justru menjadi milik segelintir orang yang sedang menjabat.
Ketika Budaya Mengaburkan Korupsi
Penyalahgunaan tanah bengkok sering kali tidak dianggap sebagai korupsi — bukan karena tidak melanggar hukum, tetapi karena masyarakat sudah terlalu lama memaklumi. Bahkan ketika perangkat desa sendiri mengakui bahwa bendahara hanya diminta menandatangani pencairan uang tanpa tahu penggunaannya, publik tetap diam. Seolah-olah ini bukan penyelewengan, melainkan bagian dari sistem.
Sebuah laporan yang ditayangkan media Ankasapost.id menyoroti pengakuan seorang bendahara desa yang menyatakan bahwa uang hasil tanah TKD sepenuhnya dikelola oleh kepala desa, tanpa pelibatan perangkat lain. Ia hanya diminta tanda tangan di bank, lalu tidak tahu-menahu kelanjutannya. Meski laporan itu bersifat lokal, kita tahu praktik seperti ini tidak terjadi di satu tempat saja.
Kasus-kasus semacam ini hanyalah potongan kecil dari gambaran besar: budaya yang membiarkan pejabat desa menjadi penguasa tanah desa.
TKD adalah Aset Desa, Bukan Jatah Jabatan
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 dan Permendagri No. 1 Tahun 2016 menegaskan bahwa tanah kas desa adalah milik desa yang dikelola untuk kepentingan bersama. Hasil pengelolaannya dapat menambah pendapatan desa, bukan menjadi pendapatan individu. Ini bukan tafsir, ini hukum positif.
Namun ketika hukum dikalahkan oleh budaya, maka yang lahir bukan lagi keteraturan, melainkan ketimpangan.
Waktunya Kita Bertanya: Siapa yang Sebenarnya Menikmati Desa Ini?
ClickIndonesiaInfo.id meyakini bahwa sudah saatnya publik — terutama masyarakat pedesaan — diberikan pemahaman yang jernih tentang fungsi dan status tanah kas desa. Sudah saatnya tradisi dimurnikan kembali pada esensinya: melayani, bukan menikmati.
Kami menyerukan kepada:
Pemerintah daerah, khususnya DPMD dan Inspektorat, agar menjalankan audit dan edukasi tentang tata kelola TKD.
BPD di setiap desa agar tidak pasif dan menjalankan fungsi pengawasan dengan serius.
Masyarakat agar tidak takut bertanya dan tidak ragu menolak budaya yang menyimpang.
Desa tidak akan pernah maju jika tanahnya terus dijarah oleh segelintir pejabat, dan masyarakatnya dibungkam oleh pembodohan masif dan kebiasaan yang salah.
Tanah bengkok bukan milik pribadi. Ia milik desa. Dan desa adalah milik rakyat.
Kebenaran kadang tidak perlu dicari — cukup diingat kembali.