Saat ini Indonesia telah memasuki umur yang ke 80 Tahun setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasca kemerdekaan Indonesia saat itu, rakyat Indonesia perlahan-lahan bebas dari penjajahan kolonialisme Barat, pengorbanan parah pahlawan dahulu kala membawa bangsa Indonesia menuju sebuah kemakmuran yang sejati.
Namun, akankah parah tokoh-tokoh pemimpin kita saat ini memiliki jiwa kesatria sejati yang sama untuk membawa rakyat Indonesia pada kemakmuran sejati?. Hal ini justru berbanding terbalik dimana rakyat yang tinggal di pelosok-pelosok tanah air sampai saat ini sama sekali belum pernah merasakan kesejahteraan dan kemakmuran sejati.
Dimana sebagian rakyat Indonesia yang berada di pelosok tanah air saat ini dengan berbagai keterbatasan ekonomi keluarga yang berdampak pada masa depan tumbu kembangnya anak sebagai Generasi penerus bangsa Indonesia.
Hal demikian bisa saja terjadi karena minimnya insfratruktur yang masih kurang memadai sebagai akses masyarakat dan jaringan internet sebagai salah satu wadah sarana belajar untuk anak bangsa sebagai benih-benih yang lahir pada zaman modern ini dengan berbagai sistem yang semakin hari kian berubah serta fasilitas pendidikan yang masih kurang memadai.
Hal ini akankah tidak diketahui oleh para tokoh-tokoh pemimpin bangsa saat ini? Ataukah parah tokoh pemimpin kita mengetahui tentang hal itu, tetapi seolah mereka berpura-pura amnesia dan terus membiarkannya begitu saja bagaikan kaum yang termarjinalkan.
Suara jeritan rakyat pelosok saat ini akan menunjukkan sebuah sikap dan persepsi yang buruk dan tidak bermoral kepada tokoh-tokoh pemimpin bangsa kita, yang saat ini hanya sibuk mengurus rumah tangga orang lain tanpa memikirkan tanggisan yang datang dari pelosok negerinya sendiri.
Para anak muda bangsa yang terlahir dari keterbatasan ekonomi keluarga sangat mengharapkan dan ingin merasakan betapa manis pentingnya pendidikan itu sebagai dasar untuk masa depan mereka untuk menjadi bibit-bibit yang berkomppeten dan berkembang menuju Indonesia emas di 2045.
Sebagian dari kaum muda juga ingin mengembangkan bakat mereka ke level yang lebih tinggi, namun semuanya itu hanya seperti sebuah hayalan belaka, bagaikan sebuah lilin kecil yang bercahaya di dalam sebuah perjalanan dalam kegelapan yang tiba-tiba padam hingga membuat mereka kehilangan arah, kemana mereka harus pergi hingga akhirnya membuat mereka rela meninggalkan impian dan cita-cita yang ingin dicapai.
Justus Petrus karma, S.Pd
Asal Desa Poto Kecamatan Fatuleu Barat
Alumni Prodi Pendidikan Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Kupang



