PASURUAN,Clickindonesiainfo.id – Dunia pendidikan di Kabupaten Pasuruan kembali diselimuti kabut hitam. Setelah viralnya video ambruknya atap ruang kelas SMAN 1 Kejayan, kini muncul dugaan pungutan wajib sebesar Rp1,7 juta per siswa yang dibebankan kepada murid kelas XII jurusan IPA.
Sejumlah wali murid mengaku resah dan tertekan karena pembayaran itu disebut sebagai syarat wajib untuk mendapatkan kartu ujian.
“Anak kami diminta bayar Rp1,7 juta. Kami cuma mampu Rp200 ribu. Tapi kalau tidak lunas, katanya tidak dapat kartu ujian. Kwitansi resmi pun tidak ada, cuma tulisan di kertas kecil,” ujar salah satu wali murid kepada Click Indonesia Info, dengan nada kecewa.
Dalih ‘Kesepakatan Komite’ dan Bayangan Pungli
Pihak sekolah berdalih pungutan tersebut merupakan hasil kesepakatan komite sekolah. Namun, alasan klasik itu justru menabrak Permendikbud No. 75 Tahun 2016 yang secara tegas melarang komite sekolah memungut dana wajib dari peserta didik atau wali murid dalam bentuk apa pun.
Larangan ini dikuatkan oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa pendidikan dasar dan menengah tidak boleh dipungut biaya. Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya menyatakan sekolah negeri tidak berhak menarik pungutan tambahan dari siswa.
Artinya, praktik di SMAN Kejayan berpotensi masuk kategori pungutan liar (pungli) dan dapat dijerat sanksi pidana maupun administratif.
Sanksi di Ujung Tanda Tanya
Secara hukum, pelaku pungli di lingkungan pendidikan bisa dijerat: Pasal 368 KUHP, jika terbukti memaksa atau mengancam siswa.
Sanksi administratif, mulai dari pembatalan pungutan hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
Namun, hingga kini belum ada tindakan tegas dari Dinas Pendidikan Jawa Timur maupun Cabang Dinas Wilayah Pasuruan.
Respons Sekolah yang Mengambang
Saat dikonfirmasi, Humas SMAN Kejayan, Heri, hanya memberikan jawaban singkat.
“Pangapunten mas, kami sibuk melayani sambatnya para orang tua. Kalau ada keluarga prasejahtera, silakan ajukan SKTM agar dikomunikasikan dengan komite. Komite berkomitmen jangan sampai ada anak putus sekolah karena ekonomi,” ujarnya lewat telepon.
Namun, pernyataan itu dinilai kontradiktif dengan fakta di lapangan. Sebab, orang tua tetap mengaku tidak diberi ruang negosiasi jika belum melunasi pungutan.
Atap Runtuh, Kepercayaan Publik Ikut Ambruk
Setelah video ambruknya ruang kelas SMAN 1 Kejayan beredar di media sosial, kepercayaan publik terhadap transparansi sekolah semakin menurun.
Sejumlah wali murid mengungkap bahwa pungutan Rp1,7 juta itu disebut-sebut sebagai “sumbangan pembangunan”. Namun, ironi muncul ketika ruang yang disebut hasil “gotong royong orang tua” justru roboh.
“Kami merasa dibohongi. Katanya uang untuk pembangunan, tapi ruang kelas malah ambruk. Uang kami dipakai untuk apa?” keluh salah satu wali murid berinisial SN.
Desakan Transparansi dari Aktivis Pendidikan
Aktivis pendidikan di Pasuruan menyebut, diamnya pihak sekolah justru memperkuat dugaan adanya penyimpangan dana sumbangan.
“Kalau memang tidak ada pelanggaran, buka saja laporan keuangan secara terbuka. Jangan sembunyi di balik alasan komite. Diam justru memperkuat kecurigaan publik,” tegas salah satu aktivis pendidikan, Selasa (14/10).
Mereka juga telah melayangkan surat klarifikasi resmi ke pihak sekolah dan menuntut transparansi penggunaan dana yang dihimpun dari wali murid.
“Dana BOS, dana pembangunan, hingga sumbangan wali murid, semuanya uang rakyat. Harus ada laporan tertulis dan audit terbuka,” tambahnya.
Payung Hukum yang Diabaikan
Sesuai Permendikbud No. 75 Tahun 2016, komite sekolah hanya boleh menggalang sumbangan sukarela, bukan pungutan wajib.Setiap dana yang dikumpulkan wajib dilaporkan secara transparan dan dapat diaudit.
Namun di SMAN 1 Kejayan, sejumlah wali murid mengaku tidak pernah menerima laporan keuangan apapun terkait dana yang mereka bayarkan.
Menunggu Langkah Tegas Dinas Pendidikan Hingga berita ini diturunkan, pihak SMAN 1 Kejayan maupun Kacabdin Wilayah Pasuruan belum memberikan tanggapan resmi.
Publik kini menanti, apakah Dinas Pendidikan Jawa Timur akan bertindak tegas atau justru membiarkan tembok integritas pendidikan runtuh bersama ruang kelas yang ambruk.(Red)



