BATAM – Aroma skandal lingkungan tercium tajam dari kawasan strategis Jembatan 3 Barelang. Sebuah aktivitas pemotongan bukit yang masif diduga dilakukan secara ilegal oleh PT Sempurna Mitra Sarana (SMS), tanpa mengantongi izin cut and fill yang diwajibkan dalam regulasi tata ruang dan perlindungan lingkungan hidup.
Pantauan langsung di lapangan memperlihatkan dua ekskavator raksasa bermerek Caterpillar dan Komatsu secara agresif mengikis bukit di sisi kanan jembatan, persis di sebelah Restoran Kelong. Hasil pengerukan tersebut langsung diangkut menggunakan puluhan truk besar roda enam dan sepuluh, tanpa jeda, membentuk iring-iringan panjang yang mengarah ke wilayah Marina, Kecamatan Sekupang, diduga sebagai lokasi penimbunan untuk proyek pembangunan apartemen.
Ironisnya, bukit yang kini nyaris gundul tersebut sebelumnya merupakan kawasan hijau yang dipenuhi pepohonan lebat. Kini, panorama asri itu tinggal kenangan. Jalan akses menuju lokasi proyek dibuka secara paksa hingga menembus bibir pantai, menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan proyek ini terhadap aturan pesisir dan kawasan lindung.
Seorang pekerja di lokasi bernama Dores, yang bertugas mencatat aktivitas keluar masuk truk, menyebutkan bahwa operasi tersebut telah berlangsung sejak September 2024, atau lebih dari delapan bulan lamanya. Ia mengungkap bahwa proyek ini dikoordinir oleh seseorang bernama Ruslan. Namun saat ditanya soal legalitas kegiatan tersebut, Dores mengaku tidak tahu-menahu.
“Yang saya tahu hanya mencatat jumlah trip. Yang tangani itu Pak Ruslan,” ujarnya sambil memberikan nomor kontak penanggung jawab lokasi, Kamis (22/5/2025).
Dores juga mengklaim bahwa lokasi ini sudah berstatus PL (Penguasaan Lahan) atas nama PT Sempurna Mitra Sarana. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas yang berdampak luas pada ekosistem setempat dilakukan oleh entitas korporasi besar tanpa pengawasan yang memadai.
Yang mengherankan, meskipun Dores menyebutkan bahwa pihak-pihak berwenang seperti Ditpam BP Batam, Ditreskrimsus Polda Kepri, dan Dinas Kehutanan telah “turun ke lokasi”, namun ketika wartawan mencoba mengonfirmasi kepada pejabat terkait, diantaranya Ditpam BP Batam dan Dinas Kehutanan Justru muncul pengakuan mengejutkan: mereka tidak mengetahui adanya aktivitas tersebut.
Apakah ini cerminan kelumpuhan pengawasan? Ataukah ada unsur pembiaran sistemik terhadap pelanggaran lingkungan?
Tindakan pemotongan bukit tanpa izin bukan hanya melanggar hukum, namun juga merupakan kejahatan ekologis yang mengancam keberlanjutan ruang hidup dan menimbulkan risiko bencana seperti longsor dan abrasi. Di tengah tuntutan global terhadap pembangunan berkelanjutan, ironi semacam ini mencederai wajah Batam sebagai kawasan yang ingin tumbuh menjadi kota metropolitan berwawasan lingkungan.
Publik menunggu jawaban tegas dan transparan dari otoritas terkait. Jika tidak, masyarakat berhak bertanya: siapa yang sebenarnya dilindungi oleh regulasi—alam atau investor?
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pengelola lokasi maupun instansi terkait belum memberikan klarifikasi resmi. Investigasi mendalam dan tindakan penegakan hukum menjadi keniscayaan demi menegakkan keadilan ekologis di tanah Melayu ini.(Gun)