Foto: Istimewa (Cii) |
Ketika hukum kehilangan sentuhan manusianya, yang jadi korban bukanlah para kriminal besar—melainkan rakyat kecil yang sedang berjuang.
Bayangkan: Anda membangun usaha dari nol, bertahun-tahun mengembangkan merek, lalu tiba-tiba dipenjara karena surat yang tak pernah Anda terima—yang hanya dikirim lewat pesan WhatsApp.
Inilah kisah nyata yang menimpa Deby Afandi, pelaku UMKM asal Pasuruan. Ia bukan koruptor, bukan penipu, hanya seorang pengusaha kecil yang kini duduk di balik jeruji karena sistem yang gagal memberi keadilan.
Pasuruan,Clickindonesiainfo.id – Deby Afandi, pelaku UMKM asal Pasuruan yang dikenal melalui usaha bantal rumah tangga bermerek Harvest, harus menerima kenyataan pahit. Suatu pagi yang sunyi, tiga mobil kejaksaan mendatangi rumahnya. Tanpa banyak bicara, Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Pasuruan, Eko, bersama jaksa eksekutor Dias Tasya Ulima, datang membawa surat perintah eksekusi.
Deby pun digiring ke Lapas Kelas IIB Kota Pasuruan untuk menjalani hukuman 10 bulan penjara dan membayar denda Rp50 juta, berdasarkan putusan banding Pengadilan Tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Ironisnya, vonis banding itu jauh lebih berat daripada putusan awal Pengadilan Negeri Kota Pasuruan, yang hanya menjatuhkan denda tanpa hukuman kurungan.
Dengan wajah terpukul, Deby mengikuti proses itu tanpa perlawanan. Ia tidak pernah menyangka akan masuk penjara—bukan karena kalah berdebat di pengadilan, melainkan karena tidak tahu bahwa putusan banding itu telah keluar.
Awal Kisah: Sengketa Merek Harvest
Kasus ini bermula dari laporan Fajar Yuristanto, yang menuduh Deby mendistribusikan produk dengan merek Harvest secara ilegal, tanpa izin resmi, serta memakai label yang dianggap menyesatkan konsumen.
Deby sendiri telah memasarkan produk Harvest sejak 2019, sedangkan Fajar baru mendaftarkan HAKI atas nama Harvest pada 2023. Dengan legalitas itu, Fajar langsung menuntut Deby dengan pasal "persamaan pada pokoknya".
Namun dalam sengketa merek di Pengadilan Niaga Surabaya, Deby justru menang. Hakim memutuskan merek Harvesuxury milik Fajar dibatalkan karena didaftarkan dengan itikad tidak baik. Bahkan, pada 2024, Deby memperoleh pengalihan hak resmi dari pemilik awal merek tersebut, Andrie Wongso.
Ironisnya, di saat satu sisi hukum memenangkan Deby, sisi lain justru menjebloskannya ke penjara.
Masalah Utama: Relaas yang Tak Pernah Tiba
Kuasa hukum Deby, Sahlan Azwar, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima relaas atau pemberitahuan resmi soal putusan banding. Tidak ada surat fisik, email, apalagi panggilan sidang. Satu-satunya pemberitahuan hanyalah pesan WhatsApp dari staf pengadilan. Saat diminta bukti, mereka mengaku pesannya telah terhapus karena memori penuh.
“Dalam perkara banding, tidak ada sidang terbuka. Maka, relaas menjadi satu-satunya jalur informasi. Tanpa itu, klien saya kehilangan hak untuk mengajukan kasasi,” ujar Sahlan.
Akibatnya, Deby tidak pernah tahu batas waktu pengajuan kasasi telah lewat. Satu-satunya jalan kini hanyalah Peninjauan Kembali (PK)—proses yang jauh lebih kompleks dan sulit.
Digitalisasi Sistem Peradilan: Efisien tapi Tak Bermartabat
Bagi Sahlan, kasus Deby adalah bukti bahwa digitalisasi hukum tanpa etika prosedural adalah bencana.
"WhatsApp bukan media resmi hukum. Sistem bisa eror, jaringan bisa gagal, pesan bisa tak terkirim. Tapi dampaknya nyata—seorang warga kehilangan hak hukumnya hanya karena kelalaian administratif," tegasnya.
Di hadapan rekan-rekan Deby dari Asurban (Asosiasi Kasur dan Bantal), Sahlan menggambarkan peristiwa ini sebagai wajah muram hukum Indonesia: “Deby bukan kriminal. Ia pelaku UMKM yang sah, menjalankan usaha legal. Tapi karena satu notifikasi digital yang tak sah, ia kini berada di balik jeruji.”
Simbol dari Sistem yang Gagal
Hari ini Deby Afandi kehilangan hak kasasi karena satu pesan WhatsApp yang tak pernah terbaca. Bukan karena ia melanggar hukum, tapi karena sistem hukum tidak memberinya akses yang layak.
"Apa gunanya digitalisasi jika keabsahan prosedur diabaikan? Deby bisa saja jadi simbol korban dari sistem yang lebih besar," kata Sahlan.
"Hari ini Deby. Besok, bisa siapa saja."
(Jack)