Oleh: LP-KPK Pasuruan.
“Uang Dikembalikan, Hukum Dimaafkan?”
Fenomena aneh kembali terjadi di Kabupaten Pasuruan. Seorang Kepala Desa yang terbukti menyalahgunakan dana desa hanya dijatuhi sanksi berupa pengembalian kerugian sebesar Rp174 juta. Tak ada proses hukum lanjutan, tak ada penahanan, dan yang lebih mencengangkan — tak ada audit terbuka dari Inspektorat yang menjelaskan secara detail kerugian negara.
Lantas, apakah ini bentuk baru “diskon hukum” bagi pejabat desa?
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Jika penyalahgunaan dana publik cukup diselesaikan dengan “bayar ganti rugi”, maka apa bedanya negara ini dengan pasar? Di mana letak marwah hukum dan tanggung jawab pidana?
Lebih ironis lagi, kejadian ini menampilkan wajah tumpulnya pengawasan. Lembaga seperti Inspektorat yang seharusnya menjadi garda awal pencegahan justru diam membisu. Ketika laporan audit tak muncul ke publik, maka muncul kecurigaan apakah benar ada ketegasan? Atau jangan-jangan justru terjadi kompromi senyap?
Kita harus menyadari bahwa korupsi di desa bukan perkara kecil. Di sanalah denyut keuangan rakyat langsung dirasakan. Jika desa dirusak oleh kepala desanya sendiri, maka kehancuran sistem dimulai dari akar rumput. Bayangkan jika praktik seperti ini dibiarkan di puluhan bahkan ratusan desa lain, cukup dengan “kembalikan saja uangnya” — maka tamatlah perjuangan reformasi hukum.
Opini ini bukan sekadar keluhan. Ini seruan. Kami menuntut:
Proses hukum tidak berhenti pada pengembalian uang. Pelaku harus diadili.
Inspektorat wajib mempublikasikan laporan resmi sebagai bentuk transparansi.
Aparat penegak hukum harus mengusut tuntas dan memeriksa dugaan adanya pembiaran struktural.
Jika hukum bisa dibeli dengan pengembalian uang, maka keadilan bukan lagi cita-cita, tapi komoditas. Kita butuh keberanian dari aparat negara untuk berpihak pada rakyat, bukan pada mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.
Senin,7 Juli 2025
Redaksi: Padang Saputra SH.
Jack/tim