Pasuruan,ClickIndonesiaInfo.id
Setelah ambruknya ruang kelas dan pagar di SMAN 1 Kejayan viral di media sosial, gelombang kritik publik makin deras. Warganet ramai menyoroti ironi di balik peristiwa itu — bagaimana mungkin bangunan sekolah bisa runtuh, sementara setiap murid dibebani iuran hingga jutaan rupiah per tahun di luar biaya resmi pendidikan.
Sejumlah komentar di media sosial menggambarkan kemarahan dan kekecewaan para netizen. banyak di antaranya mengaku pernah menjadi korban pungutan dengan dalih komite atau sumbangan sukarela.
“Tiap kenaikan kelas bayar 1,7 juta per murid. Coba kalikan semua murid,” tulis akun @makhzunajuna.
“Sudah cicil tapi tercatat cuma Rp300 ribu. Ditanya buat apa saja, guru tidak bisa jelaskan dan tidak bisa kasih kwitansi,” ungkap @ALISHA LISHA.
“Kalau gak bayar, gak dapat kartu ujian. Setiap ujian juga tetap disuruh bayar,” tulis akun @jf89.
Kisah paling getir datang dari akun @Cahya Ningrum, seorang ibu tunggal:
“Kasihan adik saya dulu sekolah di sana. Saya berusaha membiayai adik sambil menanggung anak sendiri. Berat sekali bagi saya sebagai singlemom, apalagi ijazah sempat ditahan setahun, baru diberikan karena takut kena sidak.” Ujarnya dalam kolom komentar.
Kritik juga datang dari TRINUSA PASURUAN RAYA. Ketua DPC Trinusa, Erik, menilai ambruknya plafon dan pagar sekolah di tengah besarnya pungutan merupakan cerminan bobroknya transparansi pengelolaan dana partisipasi wali murid.
“Kalau setiap murid dibebani iuran sampai jutaan rupiah tapi bangunan masih roboh, publik wajar curiga. Kami mendesak Kacabdin Wilayah Pasuruan dan Dinas Pendidikan Jawa Timur segera turun tangan dan membuka secara transparan aliran dana pungutan tersebut,” tegas Erik.
Sampai berita ini diturunkan, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Pasuruan dan pihak SMA Negeri Kejayan belum memberikan tanggapan meski awak media telah mengonfirmasi berulang melalui pesan WhatsApp.
Kebungkaman itu justru menambah tanda tanya besar: apa yang sebenarnya terjadi di balik “sumbangan” yang diwajibkan kepada murid sekolah negeri?
“Diamnya pejabat pendidikan membuat publik semakin kecewa. Jika tidak ada klarifikasi terbuka, Trinusa siap melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum,” ujar Trinusa menambahkan.
Kasus ini menambah deretan ironi pendidikan di Jawa Timur yang menggaungkan program pendidikan gratis, namun masih diwarnai praktik pungutan jutaan rupiah di sekolah negeri. Sementara bangunan runtuh, pejabat yang bertanggung jawab justru memilih diam.(Ipung/Jack)