Perumahan dengan DP minim dan cicilan ringan—tapi dibangun di atas lahan pangan yang dikorbankan.
Sebuah Editorial Redaksi Click Indonesia Info
Tentang lahan yang dirampas diam-diam, dan masa depan yang dipertaruhkan dalam sunyi.
Clickindonesiainfo.id - Di antara geliat pembangunan dan deru alat berat yang mengoyak tanah, ada suara lirih yang kerap diabaikan: suara bumi yang kehilangan daya hidupnya. Di Pasuruan, perumahan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Klaster-klaster modern menjamur, tetapi sawah-sawah menghilang. Tanah-tanah subur, yang selama puluhan tahun menjadi nadi pangan warga desa, kini berubah menjadi blok-blok beton, taman kering, dan kolam renang berair biru.
Kami tidak sedang mengarang cerita distopia. Ini realitas. Dan ini genting.
Di Atas Tanah yang Dulu Hidup
Lihatlah kampung-kampung yang dulu dihiasi barisan padi menguning. Kini, papan “Tanah Dijual” berdiri di tengah lahan yang masih basah oleh lumpur. Beberapa bulan kemudian, papan itu tergantikan oleh spanduk besar: “Grand Launching: Cluster Harmoni Sawah Indah”—nama yang ironis, karena sawahnya telah dihancurkan demi harmoni palsu yang dibeli dengan cicilan.
Tidak ada yang lebih sunyi dari tanah yang kehilangan fungsinya. Dulu memberi makan, sekarang menopang beton. Dulu mengalirkan air, sekarang memantulkan panas. Di atasnya, berdirilah rumah-rumah modern, rapi, dingin, tapi dibangun di atas luka yang dalam.
Bukan Sekadar Rumah, Tapi Luka yang Dibeli
Ini bukan tentang anti-pembangunan. Ini tentang arah. Pembangunan seperti apa yang sedang kita jalani, jika demi rumah-rumah baru, kita korbankan kemampuan kita untuk memberi makan anak cucu?
Setiap rumah yang berdiri di atas lahan sawah yang masih aktif adalah simbol dari hilangnya kearifan, ketahanan, dan keberlanjutan. Setiap pembeli rumah di sana, tanpa sadar, ikut menandatangani kontrak penghapusan sawah kita sendiri.
Pasuruan bukan hanya kota industri. Pasuruan adalah tanah subur, tempat bersemainya pangan, tempat tumbuhnya kehidupan. Tapi jika semua orang sibuk membeli kenyamanan sesaat, siapa yang nanti akan mengurus keberlangsungan hidup?
Yang Tak Terlihat: Air, Pangan, dan Pengusiran Senyap
Pengembang bisa menyulap sawah menjadi hunian, tapi tak bisa memanggil kembali air tanah yang menghilang. Mereka bisa membangun gerbang mewah, tapi tak bisa menghapus cerita petani yang perlahan tersingkir, terdesak, terdiam.
Kita melihat rumah-rumah baru. Tapi tak kita lihat anak petani yang tak lagi bisa sekolah karena ladang keluarganya dijual. Tak kita lihat harga tanah yang melonjak, hingga warga lokal hanya bisa gigit jari melihat kampungnya berubah jadi kompleks eksklusif.
Mari Menolak Dengan Cara Paling Elegan: Tidak Membeli
Kita tidak harus turun ke jalan. Cukup dengan satu keputusan kecil namun bermakna besar: jangan beli rumah di atas sawah yang masih hidup.
Jangan biarkan uang kita ikut membayar matinya lahan pangan kita sendiri.
Tanyakan pada agen properti itu: "Apakah ini lahan pertanian produktif?"
Jika iya, tinggalkan. Sebab rumah yang baik bukan hanya tempat berlindung, tapi juga tidak berdiri di atas luka orang lain.
Tanah Ini Bukan Milik Pengembang. Ini Warisan yang Harus Dijaga
Pasuruan tidak kekurangan rumah. Tapi kita bisa kekurangan makanan, jika semua tanah diubah jadi pemukiman. Apa gunanya punya rumah besar kalau nasi makin langka dan sayur makin mahal?
Editorial ini adalah seruan. Bukan hanya untuk pemerintah agar bertindak tegas menjaga tata ruang. Tapi juga untuk masyarakat agar tidak menjadi pembeli pasif yang ikut menghancurkan sawah tanpa sadar.
Karena suatu hari nanti, kita akan menyesal. Dan penyesalan itu tidak bisa dibeli kembali.
> "Jangan beli rumah di atas sawah kami".
Bukan karena kami anti pembangunan—tapi karena kami mencintai kehidupan.
( ditulis oleh saiful anwar )
Publisher: Jack one
—
Redaksi Click Indonesia Info.id
Diterbitkan sebagai bagian dari kampanye penyelamatan lahan pertanian Pasuruan