JAKARTA,Clickindonesiainfo.id — Surat Edaran Dirjen Penempatan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) Nomor 430 dan 715 Tahun 2027 menuai polemik. Kebijakan yang mewajibkan sertifikasi bagi Direktur Utama dan Kepala Cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) tersebut mendapat penolakan keras dari lima asosiasi penempatan PMI: Apjati, Aspataki, Perpemindo, Himsataki, dan Perisai.
Wakil Sekjen Komnas LP-KPK, Amri Piliang, yang mengonfirmasi langsung kepada para ketua asosiasi pada Sabtu (31/05/25), menyebut bahwa penolakan ini dipicu dugaan kuat adanya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelaksanaan sertifikasi yang biayanya mencapai Rp6–7 juta per orang.
Penolakan Kompak dari Lima Asosiasi
Ketua Umum Aspataki, Saiful Mashud, menyatakan dukungannya atas kritik Komnas LP-KPK. “Saya apresiasi dan kasih nilai 100 atas kritik ini. Kami akan naikkan ke media arus utama seperti Kompas,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Perpemindo, Heri Darman. Ia menilai kebijakan tersebut memberatkan perusahaan penempatan yang saat ini tengah menghadapi berbagai persoalan, termasuk keharusan menambah deposito Rp1,5 miliar dan belum terbukanya penempatan ke Arab Saudi. “Jelas anggota kami menolak, apalagi ditambah beban sertifikasi mahal,” tegasnya.
Perwakilan Himsataki, Mashakim dari PT. Yanbu, juga menolak keras program tersebut. “Sertifikasi ini tidak memberikan manfaat nyata bagi pelindungan PMI. Kami berterima kasih atas keberanian Komnas LP-KPK menyuarakan penolakan ini,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Apjati, Kautsar Tanjung, menyatakan penolakan serupa dan mengapresiasi langkah Komnas LP-KPK. Sementara itu, Ketua Umum Perisai, Teguh Riyanto, melalui pesan singkat menyampaikan bahwa pihaknya akan melayangkan surat keberatan pada Senin mendatang, sekaligus mempertanyakan dasar hukum surat edaran tersebut.
Dinilai Tidak Efektif dan Hanya Menghabiskan Anggaran
Menurut Amri Piliang yang juga dikenal sebagai praktisi hukum dan alumni Lemhannas, kebijakan sertifikasi ini dinilai tidak berdampak pada peningkatan pelindungan PMI dan hanya menghamburkan uang. Ia menilai seharusnya KP2MI lebih memprioritaskan pembukaan kembali penempatan PMI sektor domestic worker ke negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, UEA, dan Qatar melalui penandatanganan MoU bilateral.
Ia juga menyoroti minimnya jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan KP2MI. “Informasi yang kami peroleh, hanya ada sekitar 50 PPNS. Jika dibagi ke seluruh Indonesia, hanya satu per provinsi dan itu pun belum dibekali pelatihan teknis ketenagakerjaan,” ujarnya.
Desakan Pembatalan Sertifikasi Meningkat
Gelombang penolakan juga mulai disuarakan oleh sejumlah LSM dan praktisi hukum, bahkan beberapa pihak tengah menyiapkan somasi dan gugatan hukum. “Demi menjaga nama baik kementerian yang masih baru ini, sebaiknya proyek sertifikasi ini dibatalkan,” pungkas Amri.
(JOKO.RED)